Belajar Tuntas (Mastery Learning) merupakan metode atau filosofi belajar yang menempatkan semua siswa pada dasarnya mampu menguasai pembelajaran asalkan diberikan kesempatan dan waktu yang dibutuhkan. Karena dalam memahami pembelajaran masing masing individu mempunyai kecepatan memahami pembelajaran yang berbeda beda, maka kunci keberhasilan belajar tuntas adalah pada alokasi waktu. Hal inilah yang menjadi kelemahannya karena siswa pintar atau yang memahami pembelajaran lebih cepat harus menunggu temannya yang menguasai pembelajaran lebih lama. Prinsip yang dianut materi pembelajaran belum bisa dilanjutkan kalau semua siswa belum menuntaskan materi sebelumnya ini juga yang akan merepotkan guru, disatu sisi harus menuntun yang sudah lari jauh dan disisi lain harus menjemput kebelakang untuk menariknya agar lari lebih cepat.
Nah, apapun kelebihan dan kekurangannya belajar tuntas sudah menjadi pilihan pemerintah yang diadopsi untuk diterapkan pada kurikulum 2013 karena berbagai manfaat fantastis bagi siswa dan kemudahan mengembangkan kejelasan materi bagi guru walaupun sebagian guru mengeluhkan penilaian yang terlalu ribet.
Pada artikel ini saya tidak terlalu memperluas pokok pembahasan tentang kurikulum 2013, saya cukup ingin berbagi cerita tentang pengalaman menerapkan pembelajaran K13 pada materi di setiap Bab agar siswa mampu menuntaskan sesuai Kriteria Ketuntasan Mimnimal (KKM) baik penilaian kompetensi Pengetahuan, Keterampilan dan Penilaian sikap.
Kompetensi Dasar yang ditetapkan dalam silabus kurikulum 2013 edisi 2018 menuntut kita untuk merevisi ulang komponen yang ada didalamnya termasuk RPP dan KKM Mata Pelajaran. Revisi ini diperlukan karena siswa dituntut untuk Tuntas artinya Nilai Hasil Belajar harus sama atau diatas KKM. Bagi guru yang mengetahui permasalahan seorang siswa secara relistis dengan kompetensi dasar yang berat untuk dicapai maka cara lainnya adalah dengan menurunkan KKM. Walaupun sebenarnya dengan turunnya KKM bisa juga akan mempengaruhi kredibilitas sekolah, tetapi itulah keadaan yang sebenarnya.
Bagi saya anak mendapatkan nilai 5 tidak perlu malu asalkan menggambarkan keadaan yang sebenarnya daripada nilai 8 namun tidak mencerminkan kemampuannya. Itulah sebabnya hasil Ujian Nasional yang dicapai siswa bisa menjadi Tolok Ukur menetapkan KKM di sekolah karena menentukan KKM sebaiknya tidak hanya berdasarkan kompleksitas, daya dukung dan intake saja. Namun perlu dijabarkan lebih rinci tentang daya dukung seperti apa atau termasuk kompetensi guru, pencapaian nilai UN dan termasuk akreditasi sekolah dan lain lain.
Jika kita sudah realistis dengan kemampuan rata rata siswa, maka kita tinggal mengelola bagaimana pembelajaran tuntas bisa diterapkan. dari Indikator kompetensi yang kita tetapkan disetiap KD dapat kita terapkan dalam kegiatan pembelajaran dengan optimis tanpa ragu akan hasil akhir siswa. Toh nanti ada remedial 1, remedial 2, 3, sampai siswa bisa mencapai Indikator yang kita tetapkan. hal inilah yang menguntungkan siswa dengan kemampuan lambat, mereka akan mendapatkan perhatian yang lebih sementara siswa pintar hanya berhenti menunggu temannya yang lain menuntaskan pembelajaranya dulu. Walaupun setiap KD ada pengayaan bagi siswa pintar, tidak diharuskan bagi guru untuk melakukan bimbingan secara intensif, namun bagi siswa yang tidak tuntas WAJIB bagi guru untuk menuntaskannya.
Pembelajaran Tuntas juga berlaku saat kegiatan pembelajaran. Salah satu contohnya adalah meminimalisir pemberian Tugas Rumah (PR). Bagi saya pemberian PR ada nilai positif dan negatif bagi siswa. Kunci utamanya pada kebijakan Guru. Jika memaknai PR sebagai cara mengeksplore pemahaman siswa akan materi pembelajaran dengan mempertimbangkan kemampuan dan waktu yang sangat singkat yang dimilikinya dengan pencapaian atau ukuran hasil yang jelas. Namun jika pemberian PR tidak ada perhitungan, membebani waktu istirahat siswa dirumah, tidak pernah dinilai, hanya untuk mengulur waktu, tdak ada hubungannya dengan kompetensi dasar yang diberikan bahkan yang lebih parah jika tidak mengerjakan PR maka dianggap tidak tuntas, pemberian PR lebih baik ditiadakan.
Memberikan PR berarti memberikan tugas untuk dikerjakan dirumah, tidak ada masalah bagi siswa pintar. namun bagi siswa yang berkemampuan lambat apakah cukup dengan membiarkan begitu saja jika mengerjakan PR salah atau bahkan tidak mengerjakan PR sama sekali. pasti tugas kita untuk membimbingnya sampai mampu. Saat memberikan bimbingan kepada yang mampu, apa aktifitas siswa yang sudah mampu tentu menunggu temannya yang belum mampu.
Bagi saya sandiri pemberian PR jarang saya lakukan, saya lebih memilih penilaian unjuk kerja (performance) saat kegiatan pembelajaran. Bentuk dan model penilaian proses ini sangat efektif untuk menilai riil kemampuan siswa walaupun berdasarkan subjektifitas guru.
Kesimpulannya, jika pertanyaan diatas benarkah pembelajaran tuntas merugikan siswa pintar ?, berdasarkan penjelasan yang saya uraikan hampir sepenuhnya memang dirugikan. Ya memang kerugian yang nyata adalah tersanderanya anak yang sudah mampu memahami pembelahran oleh anak yang belum mampu, nilai Raport atau hasil belajar yang mempunyai selisih sedikit karena batas KKM. Namun guru yang bijak harusnya punya catatan tersendiri bagi siswa pintar untuk perankingan dan aspek prestasi lainnya. Keuntungan lainnya bahwa penentuan masuk ke sekolah lebih tinggi juga tetap mempertimbangkan nilai Ujian Nasional, satu satunya nilai paling objektif untuk mengukur kognitif siswa dari segi ketidak bocoran soal walaupun dari segi kualitas soal sebenarnya sangat sulit serta kesesuaian kompetensi dasar yang dipelajari dengan kisi kisi di Ujian Nasional juga kurang cocok. Hal ini terbukti di soal Ujian nasional 2018 lalu. Dengan cara ini siswa pintar tetap mendapatkan kesempatan belajar disekolah yang lebih berkualitas.
Advertisement